Sebagian kaum Muslimin setelah selesai shalat
melakukan ritual salam-salaman antara sesama jama’ah shalat. Bahkan
dengan tata cara khusus yang berbeda-beda di masing-masing daerah.
Bagaimana hukum melakukan perbuatan ini?
Perkara Ibadah Butuh Dalil
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu dipahami bahwa dalam menetapkan
suatu ibadah atau suatu tata cara dalam beribadah, butuh landasan hukum
yang valid berupa dalil yang shahih. Baik ibadah yang berupa perkataan
maupun perbuatan, harus dilandasi oleh nash dari Allah ataupun dari
Rasulullah yang termaktub dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Adapun sekedar
perkataan seseorang “
ini adalah ibadah” atau “
ini baik dan bagus” ini bukan landasan. Sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Selain itu, Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika khutbah Jum’at atau khutbah yang lain beliau bersabda:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ
وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang
diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah
bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)
Sehingga para ulama memahami dari dalil-dalil ini bahwa hukum asal
ibadah adalah terlarang, kecuali ada dalil yang mengesahkannya.
Fatwa Para Ulama Tentang Salam-Salaman Setelah Shalat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya mengenai hal
ini, beliau menjawab: “salam-salaman yang demikian (rutin setelah
shalat) tidak kami ketahui asalnya dari As Sunnah atau pun dari praktek
para sahabat Nabi
radhiallahu’anhum. Namun seseorang jika
bersalaman setelah shalat bukan dalam rangka menganggap hal itu
disyariatkan (setelah shalat), yaitu dalam rangka mempererat
persaudaraan atau menumbuhkan rasa cinta, maka saya harap itu tidak
mengapa. Karena memang orang-orang sudah biasa bersalaman untuk tujuan
itu. Adapun melakukannya karena anggapan bahwa hal itu dianjurkan
(setelah shalat) maka hendaknya tidak dilakukan, dan tidak boleh
dilakukan sampai terdapat dalil yang mengesahkan bahwa hal itu sunnah.
Dan saya tidak mengetahui bahwa hal itu disunnahkan” (
Majmu’ Fatawa War Rasa-il, jilid 3, dinukil dari
http://ar.islamway.net/fatwa/18117).
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz menyatakan: “pada asalnya
bersalam-salaman itu disyariatkan ketika bertemu antar sesama muslim.
Dan Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam biasa menyalami para
sahabat nya jika bertemu dan para sahabat juga jika saling bertemu
mereka bersalaman. Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan Asy Sya’bi
mengatakan:
كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا وإذا قدموا من سفر تعانقوا
“para sahabat Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam jika saling bertemu mereka bersalaman, dan jika mereka datang dari safar mereka saling berpelukan”
Dan terdapat hadits shahih dalam
Shahihain, bahwa Thalhah bin ‘Ubaidillah (salah satu dari 10 sahabat yang dijamin surga) datang dari pengajian bersama Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam menuju Ka’ab bin Malik
radhiallahu’anhu yaitu
ketika Ka’ab bertaubat kepada Allah (atas kesalahannya tidak ikut
jihad, pent.). Thalhah pun bersalaman dengannya dan memberinya selamat
atas taubatnya tersebut. Ini (budaya salaman) adalah perkara yang
masyhur diantara kaum Muslimin di zaman Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam ataupun sepeninggal beliau.
Dan terdapat hadits shahih dari Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:
ما من مسلمين يتلاقيان فيتصافحان إلا تحاتت عنهما ذنوبهما كما يتحات عن الشجرة ورقها
“
Tidaklah dua orang muslim yang bertemu lalu berjabat tangan, melainkan berguguranlah dosa-dosanya sebagaimana gugurnya daun dari pohon”
Maka dianjurkan bersalam-salaman ketika bertemu di masjid atau di
shaf. Jika belum sempat bersalaman sebelum shalat, maka hendaknya
setelahnya sebagai bentuk keseriusan mengamalkan sunnah yang agung ini.
Diantara hikmahnya juga ia dapat menguatkan ikatan cinta dan melunturkan
kebencian. Namun, jika belum sempat bersalaman sebelum shalat,
disyariatkan untuk bersalaman setelah shalat yaitu setelah membaca
dzikir-dzikir setelah shalat (yang disyariatkan).
Adapun yang dilakukan sebagian orang yang segera bersalam-salaman
setelah selesai shalat fardhu yaitu setelah salam yang kedua, maka saya
tidak mengetahui asal dari perbuatan ini. Bahkan yang tepat, ini
hukumnya makruh karena tidak ada dalilnya. Karena yang disyariatkan bagi
orang yang shalat dalam kondisi ini adalah segera membaca dzikir-dzikir
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam setiap selesai shalat fardhu.
Adapun shalat sunnah, juga disyariatkan untuk bersalaman setelah
salam, jika memang belum sempat bersalam ketika sebelum shalat. Jika
sudah salaman sebelum shalat maka sudah cukup (tidak perlu salaman
lagi).” (
Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 11, dinukil dari
http://www.binbaz.org.sa/mat/951).
Sebagian Ulama Membolehkan?
Memang benar sebagian ulama membolehkan ritual bersalam-salaman
setelah shalat. Namun perlu kami ingatkan, bahwa perkataan ulama
bukanlah dalil dan dalam menetapkan suatu tata cara ibadah itu
membutuhkan dalil. Para ulama berkata:
أقوال أهل العلم فيحتج لها ولا يحتج بها
“
Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”
Imam Asy Syafi’i berkata:
أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس
“
Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan
padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia
meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam
Al I’lam 2/361. Dinukil dari
Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )
Dan dalam menyikapi pendapat-pendapat para ulama yang berbeda, kita wajib kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah
Ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“
Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59).
Diantara ulama yang membolehkan hal ini adalah Imam An Nawawi
rahimahullah,
beliau berkata, “ketahuilah bahwa bersalam-salam adalah sunnah dalam
setiap kali pertemuan. Dan apa yang dibiasakan orang setelah shalat
subuh dan shalat ashar itu tidak ada asalnya dari syariat, dari satu
sisi. Namun perbuatan ini tidak mengapa dilakukan. Karena asalnya
bersalam-salaman itu sunnah dan keadaan mereka yang merutinkan
salam-salaman pada sebagian waktu dan menambahnya pada
kesempatan-kesempatan tertentu, ini tidak keluar dari hukum sunnahnya
bersalam-salaman yang disyariatkan secara asalnya. Ia merupakan bid’ah
mubahah” (dinukil dari
Mirqatul Mafatih, 7/2963).
Al Mula Ali Al Qari
rahimahullah (wafat 1014H ) menjawab
pendapat An Nawawi ini, “tidak ragu lagi bahwa perkataan Al Imam An
Nawawi ini mengandung unsur-unsur yang saling bertentangan. Karena
melakukan sunnah pada sebagian waktu tidak dinamakan bid’ah. Sedangkan
kebiasaan orang-orang melakukan salam-salaman pada dua waktu yang
disebutkan (setelah subuh dan ashar) bukanlah dalam bentuk yang
disunnahkan oleh syariat. Oleh karena itu sebagian ulama kita telah
menegaskan bahwa perbuatan ini makruh jika dilukan pada waktu tersebut.
Nah, jika seseorang masuk masjid dan orang-orang sudah shalat atau sudah
akan segera dimulai, maka setelah shalat selesai andaikan mau
bersalaman itu dibolehkan. Namun dengan syarat, memberikan salam
terlebih dahulu sebelum salaman. Maka yang seperti ini barulah termasuk
bentuk salaman yang disunnahkan tanpa keraguan” (
Mirqatul Mafatih, 7/2963).
Sehingga jelaslah bahwa dalam hal ini, pendapat Imam An Nawawi
rahimahullah tidak lah tepat.
Jika Ada Yang Menyodorkan Tangan Untuk Salaman Setelah Shalat
Di atas telah dijelaskan bahwa salam-salaman setelah shalat jika
dilakukan dengan anggapan itu ritual yang dianjurkan ini adalah
perbuatan yang tidak ada asalnya dari syariat, dan semestinya
ditinggalkan. Namun, jika ada jama’ah yang menyodorkan tangan untuk
bersalam-salaman setelah shalat hendaknya tidak ditolak atau
didiamkan. Al Mula Ali Al Qari
rahimahullah berkata, “walaupun
demikian, jika seorang ada Muslim menyodorkan tangannya untuk bersalaman
(setelah shalat), maka jangan ditolak dengan menarik tangan. Karena hal
ini akan menimbulkan gangguan yang lebih besar dari pada
maslahah
menjalankan adab (sunnah). Intinya, orang yang memulai salaman dengan
anggapan itu disyariatkan, baginya makruh, namun tidak makruh bagi yang
terpaksa menerima salamnya. Walaupun yang demikian ini terkadang ada
unsur tolong-menolong dalam perkara bid’ah,
wallahu a’lam.” (
Mirqatul Mafatih, 7/2963).
Dan dalam keadaan tersebut hendaknya kita juga bersemangat untuk
menasehati orang yang mengajak kita salaman tersebut dengan cara yang
hikmah dan santun, jika memang memungkinkan. Nasehat dengan tangan, jika
tidak mungkin, maka dengan lisan, jika tidak mungkin, minimal dengan
hati.
Adapun jika seseorang menyodorkan tangan untuk salaman karena memang
belum sempat salaman sebelum shalat, bukan dengan anggapan perbuatan ini
disyariatkan, maka sepatutnya sodoran tangan tadi disambut tanpa perlu
ragu.
Semoga bermanfaat,
wabillahi at taufiq was sadaad.
—
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/hukum-salam-salaman-setelah-shalat.html