Fatwa Ulama: Batasan Jumlah Gerakan Yang Membatalkan Shalat


Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Soal: 
Berapa batasan jumlah gerakan yang bisa membatalkan shalat?
Jawab:
Tidak terdapat batasan jumlah tertentu. Yang benar, batasan gerakan yang membatalkan shalat adalah jika gerakan yang dilakukan dilihat orang-orang maka mereka mengira orang tadi bukan sedang shalat. Maka inilah yang membatalkan shalat. Oleh karena itu para ulama memberi batasan sesuai dengan ‘urf (anggapan orang-orang setempat). Para ulama mengatakan: gerakan yang banyak dan berturut-turut, ini membatalkan shalat tanpa ada batasan jumlah tertentu.
Adapun pembatasan dari sebagian ulama dengan 3 gerakan maka ini butuh dalil. Karena siapa saja yang menetapkan suatu batasan tertentu atau tata-cara tertentu (dalam ibadah) maka ia wajib mendatangkan dalil. Jika ia tidak memiliki dalil maka seolah ia membuat-buat sendiri suatu hukum dalam syariat Allah.
Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/36423

Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad

Soal: 
Bagaimana dhabit (rumus/kaidah) mengenai gerakan dalam shalat? Dan bagaimana gerakan yang dapat membatalkan shalat itu?
Jawab:
Gerakan yang memang dibutuhkan itu tidak mengapa. Semisal yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menggeser Jabir dari sisi kiri ke sisi kanan (ketika shalat jama’ah), lalu mengeser orang yang datang berikutnya hingga persis di belakang beliau. Ini gerakan yang beliau lakukan ketika shalat, dan tidak mengapa melakukannya.
Dan tidak ada batasan tertentu dalam hal ini, semisal perkataan seseorang: ‘jika melakukan hal begini atau begitu maka shalat batal’. Akan tetapi kaidahnya adalah gerakan yang banyak sekali dan membuat ia tidak fokus dalam shalatnya, maka inilah yang membatalkan shalat. Karena jika ini terjadi maknanya orang yang shalat tadi tidaklah tenang dalam shalatnya. Adapun pembatasan dengan 3 gerakan, sebagaimana dikatakan sebagian ulama, maka ini tidak didasari dalil.
Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/33069

Fatwa Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman

Ketika ditanya tentang bolehkan seseorang bergerak mencari sutrah jika sutrahnya hilang ditengah shalat, beliau menjelaskan tentang gerakan dalam shalat. Beliau mengatakan:
“Orang-orang awam berkeyakinan bahwa bergerak dalam shalat itu tidak terpuji, bahkan sebagian orang berkeyakinan bahwa bergerak lebih dari 3 kali itu membatalkan shalat. Ini adalah khurafat yang telah saya peringatkan sejak dahulu. Yang benar, jika bergerak dalam shalat itu dalam rangka mengusahakan kesempurnaan atau kebaikan dalam shalat, maka gerakan ini terpuji. Jika seseorang shalat di tempat yang biasa dilalui orang, maka ia bergerak melangkah menjauhi tempat manusia berlalu lalang hingga ia merasa tenang pikirannya, maka ini gerakan yang terpuji. Hukum asal bergerak dalam shalat adalah makruh, berdasarkan hadits ‘Ubadah bin Ash Shamit dalam Shahih Muslim:
اسكنوا في صلاتكم
berlaku tenanglah dalam shalatmu
namun jika dengan bergerak sedikit dapat tercapai kebaikan shalat, maka ini terpuji. Patokan gerakan sedikit atau banyak, kembali kepada ‘urf. Jika orang-orang menganggap suatu gerakan itu tergolong sedikit, maka itu gerakan yang sedikit. Jika orang-orang menganggap suatu gerakan itu tergolong banyak, maka itu gerakan yang banyak”.
Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/30916

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Sumber:
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fatwa-ulama-batasan-jumlah-gerakan-yang-membatalkan-shalat.html

Hukum Salam-Salaman Setelah Shalat


 

Sebagian kaum Muslimin setelah selesai shalat melakukan ritual salam-salaman antara sesama jama’ah shalat. Bahkan dengan tata cara khusus yang berbeda-beda di masing-masing daerah. Bagaimana hukum melakukan perbuatan ini?

Perkara Ibadah Butuh Dalil

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu dipahami bahwa dalam menetapkan suatu ibadah atau suatu tata cara dalam beribadah, butuh landasan hukum yang valid berupa dalil yang shahih. Baik ibadah yang berupa perkataan maupun perbuatan, harus dilandasi oleh nash dari Allah ataupun dari Rasulullah yang termaktub dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Adapun sekedar perkataan seseorang “ini adalah ibadah” atau “ini baik dan bagus” ini bukan landasan. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Selain itu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika khutbah Jum’at atau khutbah yang lain beliau bersabda:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan (HR. Muslim no. 867)
Sehingga para ulama memahami dari dalil-dalil ini bahwa hukum asal ibadah adalah terlarang, kecuali ada dalil yang mengesahkannya.

Fatwa Para Ulama Tentang Salam-Salaman Setelah Shalat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya mengenai hal ini, beliau menjawab: “salam-salaman yang demikian (rutin setelah shalat) tidak kami ketahui asalnya dari As Sunnah atau pun dari praktek para sahabat Nabi radhiallahu’anhum. Namun seseorang jika bersalaman setelah shalat bukan dalam rangka menganggap hal itu disyariatkan (setelah shalat), yaitu dalam rangka mempererat persaudaraan atau menumbuhkan rasa cinta, maka saya harap itu tidak mengapa. Karena memang orang-orang sudah biasa bersalaman untuk tujuan itu. Adapun melakukannya karena anggapan bahwa hal itu dianjurkan (setelah shalat) maka hendaknya tidak dilakukan, dan tidak boleh dilakukan sampai terdapat dalil yang mengesahkan bahwa hal itu sunnah. Dan saya tidak mengetahui bahwa hal itu disunnahkan” (Majmu’ Fatawa War Rasa-il, jilid 3, dinukil dari http://ar.islamway.net/fatwa/18117).
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz menyatakan: “pada asalnya bersalam-salaman itu disyariatkan ketika bertemu antar sesama muslim. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasa menyalami para sahabat nya jika bertemu dan para sahabat juga jika saling bertemu mereka bersalaman. Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan Asy Sya’bi mengatakan:
كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا وإذا قدموا من سفر تعانقوا
“para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika saling bertemu mereka bersalaman, dan jika mereka datang dari safar mereka saling berpelukan”
Dan terdapat hadits shahih dalam Shahihain, bahwa Thalhah bin ‘Ubaidillah (salah satu dari 10 sahabat yang dijamin surga) datang dari pengajian bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menuju Ka’ab bin Malik radhiallahu’anhu yaitu ketika Ka’ab bertaubat kepada Allah (atas kesalahannya tidak ikut jihad, pent.). Thalhah pun bersalaman dengannya dan memberinya selamat atas taubatnya tersebut. Ini (budaya salaman) adalah perkara yang masyhur diantara kaum Muslimin di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ataupun sepeninggal beliau.
Dan terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:
ما من مسلمين يتلاقيان فيتصافحان إلا تحاتت عنهما ذنوبهما كما يتحات عن الشجرة ورقها
Tidaklah dua orang muslim yang bertemu lalu berjabat tangan, melainkan berguguranlah dosa-dosanya sebagaimana gugurnya daun dari pohon
Maka dianjurkan bersalam-salaman ketika bertemu di masjid atau di shaf. Jika belum sempat bersalaman sebelum shalat, maka hendaknya setelahnya sebagai bentuk keseriusan mengamalkan sunnah yang agung ini. Diantara hikmahnya juga ia dapat menguatkan ikatan cinta dan melunturkan kebencian. Namun, jika belum sempat bersalaman sebelum shalat, disyariatkan untuk bersalaman setelah shalat yaitu setelah membaca dzikir-dzikir setelah shalat (yang disyariatkan).
Adapun yang dilakukan sebagian orang yang segera bersalam-salaman setelah selesai shalat fardhu yaitu setelah salam yang kedua, maka saya tidak mengetahui asal dari perbuatan ini. Bahkan yang tepat, ini hukumnya makruh karena tidak ada dalilnya. Karena yang disyariatkan bagi orang yang shalat dalam kondisi ini adalah segera membaca dzikir-dzikir sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam setiap selesai shalat fardhu.
Adapun shalat sunnah, juga disyariatkan untuk bersalaman setelah salam, jika memang belum sempat bersalam ketika sebelum shalat. Jika sudah salaman sebelum shalat maka sudah cukup (tidak perlu salaman lagi).” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 11, dinukil dari http://www.binbaz.org.sa/mat/951).

Sebagian Ulama Membolehkan?

Memang benar sebagian ulama membolehkan ritual bersalam-salaman setelah shalat. Namun perlu kami ingatkan, bahwa perkataan ulama bukanlah dalil dan dalam menetapkan suatu tata cara ibadah itu membutuhkan dalil. Para ulama berkata:
أقوال أهل العلم فيحتج لها ولا يحتج بها
Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil
Imam Asy Syafi’i berkata:
أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس
Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )
Dan dalam menyikapi pendapat-pendapat para ulama yang berbeda, kita wajib kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59).
Diantara ulama yang membolehkan hal ini adalah Imam An Nawawi rahimahullah, beliau berkata, “ketahuilah bahwa bersalam-salam adalah sunnah dalam setiap kali pertemuan. Dan apa yang dibiasakan orang setelah shalat subuh dan shalat ashar itu tidak ada asalnya dari syariat, dari satu sisi. Namun perbuatan ini tidak mengapa dilakukan. Karena asalnya bersalam-salaman itu sunnah dan keadaan mereka yang merutinkan salam-salaman pada sebagian waktu dan menambahnya pada kesempatan-kesempatan tertentu, ini tidak keluar dari hukum sunnahnya bersalam-salaman yang disyariatkan secara asalnya. Ia merupakan bid’ah mubahah” (dinukil dari Mirqatul Mafatih, 7/2963).
Al Mula Ali Al Qari rahimahullah (wafat 1014H ) menjawab pendapat An Nawawi ini, “tidak ragu lagi bahwa perkataan Al Imam An Nawawi ini mengandung unsur-unsur yang saling bertentangan. Karena melakukan sunnah pada sebagian waktu tidak dinamakan bid’ah. Sedangkan kebiasaan orang-orang melakukan salam-salaman pada dua waktu yang disebutkan (setelah subuh dan ashar) bukanlah dalam bentuk yang disunnahkan oleh syariat. Oleh karena itu sebagian ulama kita telah menegaskan bahwa perbuatan ini makruh jika dilukan pada waktu tersebut. Nah, jika seseorang masuk masjid dan orang-orang sudah shalat atau sudah akan segera dimulai, maka setelah shalat selesai andaikan mau bersalaman itu dibolehkan. Namun dengan syarat, memberikan salam terlebih dahulu sebelum salaman. Maka yang seperti ini barulah termasuk bentuk salaman yang disunnahkan tanpa keraguan” (Mirqatul Mafatih, 7/2963).
Sehingga jelaslah bahwa dalam hal ini, pendapat Imam An Nawawi rahimahullah tidak lah tepat.

Jika Ada Yang Menyodorkan Tangan Untuk Salaman Setelah Shalat

Di atas telah dijelaskan bahwa salam-salaman setelah shalat jika dilakukan dengan anggapan itu ritual yang dianjurkan ini adalah perbuatan yang tidak ada asalnya dari syariat, dan semestinya ditinggalkan. Namun, jika ada jama’ah yang menyodorkan tangan untuk bersalam-salaman setelah shalat hendaknya tidak ditolak atau didiamkan. Al Mula Ali Al Qari rahimahullah berkata, “walaupun demikian, jika seorang ada Muslim menyodorkan tangannya untuk bersalaman (setelah shalat), maka jangan ditolak dengan menarik tangan. Karena hal ini akan menimbulkan gangguan yang lebih besar dari pada maslahah menjalankan adab (sunnah). Intinya, orang yang memulai salaman dengan anggapan itu disyariatkan, baginya makruh, namun tidak makruh bagi yang terpaksa menerima salamnya. Walaupun yang demikian ini terkadang ada unsur tolong-menolong dalam perkara bid’ah, wallahu a’lam.” (Mirqatul Mafatih, 7/2963).
Dan dalam keadaan tersebut hendaknya kita juga bersemangat untuk menasehati orang yang mengajak kita salaman tersebut dengan cara yang hikmah dan santun, jika memang memungkinkan. Nasehat dengan tangan, jika tidak mungkin, maka dengan lisan, jika tidak mungkin, minimal dengan hati.
Adapun jika seseorang menyodorkan tangan untuk salaman karena memang belum sempat salaman sebelum shalat, bukan dengan anggapan perbuatan ini disyariatkan, maka sepatutnya sodoran tangan tadi disambut tanpa perlu ragu.
Semoga bermanfaat, wabillahi at taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

 http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/hukum-salam-salaman-setelah-shalat.html





Tata Cara Sujud Sahwi

Sujud Sahwi Sebelum ataukah Sesudah Salam?

Shidiq Hasan Khon rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tegas yang menjelaskan mengenai sujud sahwi kadang menyebutkan bahwa sujud sahwi terletak sebelum salam dan kadang pula sesudah salam. Hal ini menunjukkan bahwa boleh melakukan sujud sahwi sebelum ataukah sesudah salam. Akan tetapi lebih bagus jika sujud sahwi ini mengikuti cara yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sebelum salam, maka hendaklah dilakukan sebelum salam. Begitu pula jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sesudah salam, maka hendaklah dilakukan sesudah salam. Selain hal ini, maka di situ ada pilihan. Akan tetapi, memilih sujud sahwi sebelum atau sesudah salam itu hanya sunnah (tidak sampai wajib, pen).”[1]
Intinya, jika shalatnya perlu ditambal karena ada kekurangan, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Sedangkan jika shalatnya sudah pas atau berlebih, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.
Adapun penjelasan mengenai letak sujud sahwi  sebelum ataukah sesudah salam dapat dilihat pada rincian berikut.
  1. Jika terdapat kekurangan pada shalat –seperti kekurangan tasyahud awwal-, ini berarti kekurangan tadi butuh ditambal, maka menutupinya tentu saja dengan sujud sahwi sebelum salam untuk menyempurnakan shalat. Karena jika seseorang sudah mengucapkan salam, berarti ia sudah selesai dari shalat.
  2. Jika terdapat kelebihan dalam shalat –seperti terdapat penambahan satu raka’aat-, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam. Karena sujud sahwi ketika itu untuk menghinakan setan.
  3. Jika seseorang terlanjur salam, namun ternyata masih memiliki kekurangan raka’at, maka hendaklah ia menyempurnakan kekurangan raka’at tadi. Pada saat ini, sujud sahwinya adalah sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.
  4. Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu ia mengingatnya dan bisa memilih yang yakin, maka hendaklah ia sujud sahwi sesudah salam untuk menghinakan setan.
  5. Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu tidak nampak baginya keadaan yang yakin. Semisal ia ragu apakah shalatnya empat atau lima raka’at. Jika ternyata shalatnya benar lima raka’at, maka tambahan sujud tadi untuk menggenapkan shalatnya tersebut. Jadi seakan-akan ia shalat enam raka’at, bukan lima raka’at. Pada saat ini sujud sahwinya adalah sebelum salam karena shalatnya ketika itu seakan-akan perlu ditambal disebabkan masih ada yang kurang yaitu yang belum ia yakini.

Tata Cara Sujud Sahwi

Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa hadits bahwa sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud di akhir shalat –sebelum atau sesudah salam-. Ketika ingin sujud disyariatkan untuk mengucapkan takbir “Allahu akbar”, begitu pula ketika ingin bangkit dari sujud disyariatkan untuk bertakbir.
Contoh cara melakukan sujud sahwi sebelum salam dijelaskan dalam hadits ‘Abdullah bin Buhainah,
فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali. Ketika itu beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan sujud sahwi ini sebelum salam.” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)
Contoh cara melakukan sujud sahwi sesudah salam dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah,
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ
Lalu beliau shalat dua rakaat lagi (yang tertinggal), kemudia beliau salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)
Sujud sahwi sesudah salam ini ditutup lagi dengan salam sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Imron bin Hushain,
فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.
Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim no. 574)
Apakah ada takbiratul ihrom sebelum sujud sahwi?
Sujud sahwi sesudah salam tidak perlu diawali dengan takbiratul ihrom, cukup dengan takbir untuk sujud saja. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Landasan mengenai hal ini adalah hadits-hadits mengenai sujud sahwi yang telah lewat.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai sujud sahwi sesudah salam apakah disyaratkan takbiratul ihram ataukah cukup dengan takbir untuk sujud? Mayoritas ulama mengatakan cukup dengan takbir untuk sujud. Inilah pendapat yang nampak kuat dari berbagai dalil.”[2]
Apakah perlu tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi?
Pendapat yang terkuat di antara pendapat ulama yang ada, tidak perlu untuk tasyahud lagi setelah sujud kedua dari sujud sahwi karena tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan hal ini. Adapun dalil yang biasa jadi pegangan bagi yang berpendapat adanya, dalilnya adalah dalil-dalil yang lemah.
Jadi cukup ketika melakukan sujud sahwi, bertakbir untuk sujud pertama, lalu sujud. Kemudian bertakbir lagi untuk bangkit dari sujud pertama dan duduk sebagaimana duduk antara dua sujud (duduk iftirosy). Setelah itu bertakbir dan sujud kembali. Lalu bertakbir kembali, kemudian duduk tawaruk. Setelah itu salam, tanpa tasyahud lagi sebelumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada dalil sama sekali yang mendukung pendapat ulama yang memerintahkan untuk tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi. Tidak ada satu pun hadits shahih yang membicarakan hal ini. Jika memang hal ini disyariatkan, maka tentu saja hal ini akan dihafal dan dikuasai oleh para sahabat yang membicarakan tentang sujud sahwi. Karena kadar lamanya tasyahud itu hampir sama lamanya dua sujud bahkan bisa lebih. Jika memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tasyahud ketika itu, maka tentu para sahabat akan lebih mengetahuinya daripada mengetahui perkara salam, takbir ketika akan sujud dan ketika akan bangkit dalam sujud sahwi. Semua-semua ini perkara ringan dibanding tasyahud.”[3]

Do’a Ketika Sujud Sahwi

Sebagian ulama menganjurkan do’a ini ketika sujud sahwi,
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو
Subhana man laa yanaamu wa laa yas-huw” (Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa).[4]
Namun dzikir sujud sahwi di atas cuma anjuran saja dari sebagian ulama dan tanpa didukung oleh dalil. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
قَوْلُهُ : سَمِعْت بَعْضَ الْأَئِمَّةِ يَحْكِي أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ أَنْ يَقُولَ فِيهِمَا : سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو – أَيْ فِي سَجْدَتَيْ السَّهْوِ – قُلْت : لَمْ أَجِدْ لَهُ أَصْلًا .
Perkataan beliau, “Aku telah mendengar sebagian ulama yang menceritakan tentang dianjurkannya bacaan: “Subhaana man laa yanaamu wa laa yas-huw” ketika sujud sahwi (pada kedua sujudnya), maka aku katakan, “Aku tidak mendapatkan asalnya sama sekali.[5]
Sehingga yang tepat mengenai bacaan ketika sujud sahwi adalah seperti bacaan sujud biasa ketika shalat. Bacaannya yang bisa dipraktekkan seperti,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi][6]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku][7]
Dalam Mughnil Muhtaj –salah satu kitab fiqih Syafi’iyah- disebutkan, “Tata cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah (bersikap tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy[8] ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk[9] ketika selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”
Sebagaimana pula diterangkan dalam fatwa Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika ditanya, “Bagaimanakah kami melakukan sujud sahwi?
Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud setelah tasyahud akhir sebelum salam, dilakukan sebagaimana sujud dalam shalat. Dzikir dan do’a yang dibaca ketika itu adalah seperti ketika dalam shalat. Kecuali jika sujud sahwinya terdapat kekurangan satu raka’at atau lebih, maka ketika itu, sujud sahwinya sesudah salam. Demikian pula jika orang yang shalat memilih keraguan yang ia yakin lebih kuat,maka yang afdhol baginya adalah sujud sahwi sesudah salam. Hal ini berlandaskan berbagai hadits shahih yang membicarakan sujud sahwi. Wabillahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.[10]
-bersambung insya Allah-
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id


[1] Ar Roudhotun Nadiyyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, 1/182, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 3/99, Darul Ma’rifah, 1379.
[3] Dialihbahasakan secara bebas dari Majmu’ Al Fatawa, 23/49.
[4] Bacaan sujud sahwi semacam ini di antaranya disebutkan oleh An Nawawi rahimahullah dalam Roudhotuth Tholibiin, 1/116, Mawqi’ Al Waroq.
[5] At Talkhis Al Habiir, Ibnu Hajar Al Asqolani, 2/6, Al Madinah Al Munawwaroh, 1384.
[6] HR. Muslim no. 772
[7] HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484
[8] Duduk iftirosy adalah keadaan duduk seperti ketika tasyahud awwal, yaitu kaki kanan ditegakkan, sedangkan kaki kiri diduduki pantat.
[9] Duduk tawaruk adalah duduk seperti tasyahud akhir, yaitu kaki kanan ditegakkan sedangkan kaki kiri berada di bawah kaki kanan.
[10] Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ soal ketujuh, fatwa no. 8540, 7/129.
 Sumber:
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/sujud-sahwi-3-tata-cara-sujud-sahwi.html

Ada Apa di Balik Goyang Oplosan?



Sekilas Goyang Oplosan

SIAPA tak kenal dengan goyang yang tengah populer di TV ini? Bahkan tiap hari kita dapat menyaksikannya dalam program pada sebuah stasiun televisi swasta. Atau bagi yang sering menjadi penumpang bis malam di wilayah Pantura, lagu goyang oplosan ini sebenarnya tak asing. Karena memang sering diputar sebagai hiburan di bis-bis tersebut.

Lagu goyang oplosan kini mungkin sangat ‘beruntung’ karena telah menjadi sebuah fenomena. Khususnya setelah dinyanyikan oleh seorang artis ibukota. Asal tahu saja, debut lagu tersebut berawal dari panggung orkes daerah yang tentunya jauh dari konsumsi publik secara nasional.

Nah, bagi yang pernah mencermati liriknya, lagu goyang oplosan ini tidak berbahasa Indonesia melainkan bahasa Jawa. Berikut ini lirik lagunya:

Opo ora eman duite gawe tuku banyu setan
Opo ora mikir yen mendem iku biso ngrusak pikiran
Ojo diteruske mendeme
Mergo ora onok untunge
Yo cepet lerenono mendemmu
Ben dowo umurmu

Reff :
Oplosan
Oplosan
Oplosan
Sawangen kae konco koncomu akeh do podo gelempangan
Ugo akeh sing kelesetan ditumpakake ambulan
Yo wes cukup anggonmu mendem
Yo wes cukup anggonmu gendeng
Do mari mario yo leren lereno
Ojo diterus terusno

 

Reff :images (133×75)
Tutupen botolmu Tutupen oplosanmu
Emanen nyawamu ojo mbok terus teruske mergane ora onok gunane
Oplosan
Oplosan
Oplosan
Opo ora eman duite gawe tuku banyu setan
Opo ora mikir yen mendem iku biso ngrusak pikiran
Ojo diteruske mendeme
Mergo ora onok untunge
Yo cepet lerenono mendemmu
Ben dowo umurmu
Oplosan
Oplosan
Oplosan

Bagi yang paham dengan bahasa Jawa, harus diakui bahwa isi lagu ini sebenarnya mengandung niat baik. Karena liriknya mengajak untuk menghentikan kebiasaan ‘mendem’ (mabuk akibat minuman keras). Apalagi jika minuman kerasnya hasil oplosan, jelas makin berbahaya.

Lihat saja, hingga akhir Januari 2014 lalu, pemberitaan miras oplosan, cukup meramaikan media massa. Bahkan hampir setiap kasus memakan korban jiwa. Miras ini menimbulkan sensasi awal berupa perasaan terbakar. Disamping itu, juga menyebabkan gagal ginjal, katarak karena pupul mata membesar, rusaknya lambung, metabolisme tubuh menurun, rusaknya saluran pencernaan, enzim dalam tubuh rusak, kematian jaringan dan bisa menyerang otak, hingga akhirnya terjadi kegagalan sistem saraf pusat. Semakin sering mengonsumsi miras oplosan yang dicampur dengan metanol maka tubuh makin lama akan makin rapuh akibat kerusakan yang terjadi pada organ vital (health.liputan6.com, 07/01/2014).

Cukupkah Lirik Berisi Niat Baik?

Harus diketahui, di balik kebaikan isi liriknya, goyang oplosan yang asli dalam panggung orkes daerah itu sungguh bermuatan goyang erotis. Untuk hal ini, boleh ditanyakan secara langsung kepada penduduk Jawa, khususnya daerah Pantura. Atau bisa juga ditanyakan kepada para penumpang bis malam tadi.

Bukti keerotisannya dari sejumlah video rekaman penampilan orkes dan penyanyi di panggung daerah tersebut. Sementara yang berada di TV, sebenarnya itu sudah dimodifikasi. Karena sisi erotisnya dapat dikatakan sudah berkurang, atau mungkin tak terlalu nampak. Ya tentunya stasiun TV yang bersangkutan tak ingin ditegur keras oleh KPI.

Jadi, cukupkah dengan lirik lagu berisi niat baik untuk mengajak pada sebuah kebaikan? Ehm, sepertinya tidak. Bicara tentang ‘niat baik’ yang diwujudkan dalam ‘goyang erotis’, ini sudah dapat diidentifikasi sebagai bentuk peng-oplos-an (pencampuradukkan) antara makna kebaikan dan keburukan dalam perbuatan itu sendiri. Namun, sistem kapitalisme-liberal yang menjadi wadah kehidupan manusia saat ini, memberikan pandangan bahwa individu bebas bertindak dan berbuat apa saja yang diinginkannya untuk meraih kebahagiaan duniawi, termasuk menolak untuk dibatasi dan dibelenggu kebebasannya (Buku IMAD 2004). Akibatnya, perwujudan lagu yang bersangkutan jelas tak sesuai dengan niat baik yang tadinya ingin disampaikan melalui liriknya.

Padahal, Allah Swt sebagai Sang Khaliq, telah berfirman: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (TQS Adz-Dzaariyaat [51]: 56). Hal ini dikuatkan dalam sebuah kaidah syara’ tentang hukum perbuatan, yaitu “Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syara” (Kitab Ushul Fiqh 2003).

Untuk itu, seluruh kaum muslimin diperintahkan untuk melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam. Karena telah ditetapkan kewajiban atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah Swt. Firman Allah Swt: “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah...” (TQS Al-Hasyr [59]: 07) (Buku IMAD 2004).

Di sinilah peran penting sistem Islam sebagai aturan yang mengelaborasi aturan Allah Swt dalam kehidupan manusia. Sistem Islam dengan ketiga asasnya, merupakan sistem tunggal yang khas, yang berbeda dengan sistem kapitalisme dan sosialisme. Asas pertama, ketaqwaan individu; dimana seorang individu akan menjadikan aqidah Islamnya sebagai pengendali tingkah lakunya agar senantiasa dalam koridor aturan Allah Swt. Asas kedua, adanya sikap untuk terbiasa saling mengontrol (‘amar ma’ruf nahyi mungkar) di tengah masyarakat dalam pelaksanaan hukum Islam. Asas ketiga, keberadaan negara atau sistem pemerintahan sebagai pelaksana hukum Islam dalam mengurusi urusan rakyatnya, muslim dan non-muslim (Buku IMAD 2004).

Khatimah: Ihsanul ‘Amal

Amal perbuatan yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh niat yang ikhlas, yaitu hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus dilakukan dengan cara yang dibenarkan oleh syariat, yaitu sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasul saw.

Fudhail bin Iyadh ra pernah memberi komentar tentang ayat kedua surat Al-Mulk [67], “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Rasul saw.

Seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.”

Setelah itu Fudhail bin Iyadh ra membacakan surat Al-Kahfi [18] ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”

Dengan demikian, niat yang ikhlas (niat baik) saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah Swt, jika dilakukan tidak sesuai dengan cara yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah Swt. Jadi, benarkah menyampaikan kebaikan itu dapat dilakukan dengan aktivitas keburukan? Oh, tentu tidak. Wallaahu a’lam bish showab []


Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
http://www.globalmuslim.web.id/2014/02/ada-apa-di-balik-goyang-oplosan.html 

Bagaimana Cara Membangkitkan Motivasi?

Semua orang pasti membutuhkan motivasi, entah itu para karyawan, pelajar, pengusaha, dan beragam profesi lainnya. Akan tetapi motivasi itu tak selamanya bisa ada di dalam diri, terkadang rasa galau, jenuh, dan bosan. Bukan tidak mungkin karena menurun atau bahkan hilangnya motivasi, maka produktivitas kita bisa menurun. So, bahasan kita pada artikel ini adalah bagaimana cara membangkitkan motivasi. Kita akan bicarakan semuanya secara jelas, mudah dimengerti dan motivasi Anda akan bangkit kembali :).
Ketika kita merasa jenuh, maka kita seperti kehilangan motivasi tapi tidaklah seburuk itu. Misalnya kita jenuh dengan pekerjaan yang rutin kita lakukan sebagai karyawan dari Senin sampai Jum’at dan mungkin kita bosan dengan gaji yang segitu-segitu saja, apakah itu kehilangan motivasi? Tidak..
Jika dalam kasus seperti itu, kita itu bukan kehilangan motivasi. Tapi itu adalahtanda harus ada perubahan. Kita harus berubah menjadi lebih baik, lebih berani, dan lebih memantaskan diri untuk dibayar mahal. So, mungkin ada dua jalan keluar yang bisa membuat kita meninggalkan rasa jenuh tersebut, pertamaresign(mengundurkan diri) dan menjadi wirausaha ataupun bertahan di pekerjaan tersebut untuk melampaui kualitas terbaik yang bisa kita capai.
Jadi, segala sesuatu itu bisa menjadi tanda untuk Anda termasuk dalam hal kehilangan atau kekurangan motivasi.
Ini dia beberapa tips untuk membangkitkan motivasi Anda :).

Punya Target

Iya punya target.. inget saat kita sering mengucapkan kata-kata seandainya ?.. seandainya aku lebih kaya, seandainya aku lebih berani, seandainya aku dapat pekerjaan seperti dia.. Jadikanlah kata-kata seandainya itu sebagai target atau titik poin yang harus Anda capai. Misalnya Anda mengatakan, seandainya aku itu bisa seperti dia jadi pembicara publik pasti enak deh..
Nah dari sana bangulah cita-cita dan target Anda. Ingat lho target itu bertanggal. Tentukan kapan target itu harus dicapai, jelaskan tanggal detailnya. Tak perlu sibuk memikirikan bisa atau tidak kita mencapai target kita, tapi berfokuslah pada yang bisa kita kerjakan untuk mencapai target tersebut.
So, miliki target Anda dan kejar target itu mudah-mudahan motivasi Anda bangkit kembali.

Berpikir dan Bertindak Positif


Ya, suatu motivasi dan semangat itu baru bisa kita dapatkan bila kita punya suatu aura positif. Bagaimana cara mendapatkan aura positif? Caranya adalah dengan berpikir dan bertindak positif. Lalu gimana  cara bisa berpikir dan bertindak positif?
Supaya bisa mendapatkan tenaga untuk berpikir dan bertindak positif maka kita butuh melakukan hal-hal berikut :
  1. Awali pagi dengan sesuatu yang positif, entah itu berdoa, membaca buku motivasi, menonton video motivasi, menikmati pagi bersama istri/suami dan anak-anak tercinta, dan banyak lagi.  Jika kita memulai dengan sesuatu yang positif mudah-mudahan kita juga bisa melewati pertengahan hingga akhir dengan sesuatu yang positif.
  2. Miliki motivasi dari dalam diri. Terlihat jelas perbedaan antara orang yang punya motivasi internal dan yang tidak punya motivasi internal (dari dalam diri). Orang yang punya motivasi dari dalam diri, tidak akan kehilangan motivasi ketika satu harapan mereka hilang. Kalau orang eksternal motivasinya kan karena ada sesuatu hal reward yang mau dikejar, seperti uang, bonus, pangkat dan sebagainya. Akan tetapi ketika reward tersebut hilang maka motivasi bisa jadi drop. Untuk itu bangun dan perkuat motivasi dari dalam diri Anda.
  3. Syukuri kehidupan ini. Orang yang bersyukur itu hidupnya indah sekali, mereka akan bekerja sebaik-baiknya, mereka sibuk sekali melayani sesama dan mereka begitu mencintai hidup mereka. Alhasil mereka tidak sempat mengeluh dan bersedih-sedih karena beratnya masalah yang ada di hadapan mereka. Selain itu dengan bersyukur maka kita akan lebih mudah ingat ke pada Yang Maha Kuat.
  4. Paksa dan usahakan diri Anda membahagiakan orang lain setiap harinya. Misalnya dengan cara tersenyum, memuji, mendoakan dan melayani mereka. Entah itu pasangan, anak-anak, klien, rekan kerja dan sebagainya. Dengan memuji, tersenyum, dan membahagiakan orang lain maka kita akan bahagia dan tindakan serta pikiran positif akan tercipta.
  5. Ciptakan dan bergaulah dengan rekan-rekan yang super, ya bekerjalah di tim yang penuh semangat, punya passion, bergairah dan mau bekerja keras. Kalau bisa hindari pergaulan dengan orang yang pengeluh, dan menganggap semua kesulitan sebagai nasib.
  6. Hindari kata-kata yang merendahkan diri sendiri. Contoh kata-katanya misalnya tidak dapat, tidak bisa, tidak mampu, malas, bodoh, tidak berpengalaman dan berbagai kata-kata senada seperti itu. Ingat, orang yang sukses adalah orang yang menghormati diri nya sendiri dan orang lain tentunya.

Rekan pembaca yang rezekinya baik, itu lah beberapa tip dari saya untuk membangkitkan motivasi kita bersama. Sekali lagi ini masalah keputusan, kalau Anda mau maka pasti bisa. Kalau Anda mau punya motivasi, maka putuskan untuk bisa punya motivasi. Mudah-mudahan sharing ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Tetaplah menjadi pribadi yang super.

Proses Kejadian Manusia menurut Al-Quran

 
1.  Proses Kejadian Manusia Pertama (Adam)
Di dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah dari tanah kemudian dibentuk oleh Allah dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Setelah sempurna maka oleh Allah ditiupkan ruh kepadanya maka dia menjadi hidup. Hal ini ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya :
"yang membuat sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah". (QS. As Sajdah (32) : 7)
Dan Allah juga berfirman dalam Qur’an Surat Al-Hijr :26

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering  (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk". (QS. Al Hijr (15) : 26)
           
2. Proses Kejadian Manusia Kedua (Siti Hawa)
Pada dasarnya segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah di dunia ini selalu dalam keadaan berpasang-pasangan. Demikian halnya dengan manusia, Allah berkehendak menciptakan lawan jenisnya untuk dijadikan kawan hidup (isteri). Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam salah satu firman-Nya :

"Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui" (QS. Yaasiin (36) : 36)
     Adapun proses kejadian manusia kedua ini oleh Allah dijelaskan di dalam surat An Nisaa’ ayat 1 yaitu :
"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang sangat banyak..." (QS. An Nisaa’ (4) : 1)
           
            Apabila kita amati proses kejadian manusia kedua ini, maka secara tak langsung hubungan manusia laki-laki dan perempuan melalui perkawinan adalah usaha untuk menyatukan kembali tulang rusuk yang telah dipisahkan dari tempat semula dalam bentuk yang lain. Dengan perkawinan itu maka akan lahirlah keturunan yang akan meneruskan generasinya.
3.2  Asal- usul Kejadian Manusia menurut Al-Quran
Proses Kejadian Manusia Ketiga (semua keturunan Adam dan Hawa) adalah asal usul mausia, yaitu kita diciptakan tidak langsung seperti nabi Adam As. Dan Siti Hawa, namun ada beberapa proses yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an. Kejadian manusia ketiga adalah kejadian semua keturunan Adam dan Hawa kecuali Nabi Isa a.s. Dalam proses ini disamping dapat ditinjau menurut Al Qur’an dan Al Hadits dapat pula ditinjau secara medis. Di dalam Al Qur’an proses kejadian manusia secara biologis dejelaskan secara terperinci melalui firman-Nya :
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (QS. Al Mu’minuun (23) : 12-14)
           
Ungkapan ilmiah dari Al Qur’an dan Hadits 15 abad silam telah menjadi bahan penelitian bagi para ahli biologi untuk memperdalam ilmu tentang organ-organ jasad manusia. Selanjutnya yang dimaksud di dalam Al Qur’an dengan "saripati berasal dari tanah" sebagai substansi dasar kehidupan manusia adalah protein, sari-sari makanan yang kita makan yang semua berasal dan hidup dari tanah. Yang kemudian melalui proses metabolisme yang ada di dalam tubuh diantaranya menghasilkan hormon (sperma), kemudian hasil dari pernikahan (hubungan seksual), maka terjadilah pembauran antara sperma (lelaki) dan ovum (sel telur wanita) di dalam rahim. Kemudian berproses hingga mewujudkan bentuk manusia yang sempurna (seperti dijelaskan dalam ayat diatas).
Ibnu Mandzur rahimahullah berkata : " 'Alaqoh adalah binatang kecil yang ada di air yang menghisap darah, jamaknya 'Alaq" dan berkata juga :" Binatang merah kecil, ada di air, terkadang menempel di badan dan menghisap darah"[1]
Fairuz Abadi rahimahullah berkata :" 'Alaqoh adalah binatang kecil yang berada di air yang menghisap darah".[2]  Perkataan para Ahli tafsir terdahulu semuanya sama dan tidak keluar dari penafsiran ahli bahasa. Adapun sebagian Ahli tafsir zaman sekarang telah mengisyaratkan apa yang sesuai dengan penemuan – penemuan di zaman sekarang.
Ibnu 'Asyuur , ahli tafsir masa kini berkata : "Termasuk dari Mukjizat Alqur'an tentang keilmuan adalah penamaan janin fase ini dengan nama 'Alaqoh. Itu adalah penamaan yang sangat bagus dan serasi, karena telah diteliti bahwa bagian kecil yang terbentuk dari Nuthfah (yaitu 'Alaqoh ) dia punya daya hisap yang kuat yang menghisap darah dari ibu, karena dia menempel di urat-urat yang ada di rahim ibu, dimana darah disuplai kepadanya. Dan 'Alaqoh adalah segumpal darah yang membeku[3].
Para ahli dari barat baru menemukan masalah pertumbuhan embrio secara bertahap pada tahun 1940 dan baru dibuktikan pada tahun 1955, tetapi dalam Al Qur’an dan Hadits yang diturunkan 15 abad lalu hal ini sudah tercantum.
Ini sangat mengagumkan bagi salah seorang embriolog terkemuka dari Amerika yaitu Prof. Dr. Keith Moore, beliau mengatakan : "Saya takjub pada keakuratan ilmiyah pernyataan Al Qur’an yang diturunkan pada abad ke-7 M itu". Selain itu beliau juga mengatakan, "Dari ungkapan Al Qur’an dan hadits banyak mengilhami para scientist (ilmuwan) sekarang untuk mengetahui perkembangan hidup manusia yang diawali dengan sel tunggal (zygote) yang terbentuk ketika ovum (sel kelamin betina) dibuahi oleh sperma (sel kelamin jantan). Kesemuanya itu belum diketahui oleh Spalanzani sampai dengan eksperimennya pada abad ke-18, demikian pula ide tentang perkembangan yang dihasilkan dari perencanaan genetik dari kromosom zygote belum ditemukan sampai akhir abad ke-19. Tetapi jauh sebelumnya Al Qur’an telah menegaskan dari nutfah Dia (Allah) menciptakannya dan kemudian (hadits menjelaskan bahwa Allah) menentukan sifat-sifat dan nasibnya.
Sebagai bukti yang konkrit di dalam penelitian ilmu genetika (janin) bahwa selama embriyo berada di dalam kandungan ada tiga selubung yang menutupinya yaitu dinding abdomen (perut) ibu, dinding uterus (rahim), dan lapisan tipis amichirionic (kegelapan di dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup/membungkus anak dalam rahim). Hal ini ternyata sangat cocok dengan apa yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Qur’an :

6. Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. tidak ada Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan". (QS. Az Zumar (39) : 6).
3.3  Hadist tentang Kejadian dan Asal usul Manusia
1. Hadist tentang Proses Kejadian Manusia
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قاَلَ ;حَدَّثَناَ رَسُوْلُ اللّهِ .صلم. وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ ; إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّه أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً ، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذاَلِكَ ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذاَلِكَ ،  ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِماَتٍ ; رِزْقِه ، وَأَجَلِه ، وَعَمَلِه ، وَهَلْ هُوَ شَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ - الحديث رواه أحمد -
a .  Kosa Kata
Orang yang terpercaya  : الْمَصْدُوْقُ    Benar-benar dihimpun / diproses    : لَيُجْمَعُ         Perut    : بَطْنِ          40 hari   : أَرْبَعِيْنَ يَوْماً        Dikirim ; diutus      : يُرْسَلُ
Untuk meniupkan / memasangkan      : فَيَنْفُخُ    4 ketentuan  : بِأَرْبَعِ كَلِماَتٍ           Orang yang celaka       : شَقِيٌّ               Orang yang beruntung       : سَعِيْدٌ
b. Terjemahan Hadis
“ Dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata : Telah bersabda kepada kami Rasulullah SAW – Beliau  adalah orang yang jujur dan terpercaya - ; “ Sesungguhnya seorang diantara kamu ( setiap kamu ) benar-benar diproses kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari berwujud air mani; kemudian berproses lagi selama 40 hari menjadi segumpal darah; lantas berproses lagi selama 40 hari menjadi segumpal daging; kemudian malaikat dikirim kepadanya untuk meniupkan roh kedalamnya; lantas ( sang janin ) itu ditetapkan dalam 4 ketentuan : 1. Ditentukan ( kadar ) rizkinya, 2. Ditentukan batas umurnya, 3. Ditentukan amal perbuatannya, 4. Ditentukan apakah ia tergolomg orang celaka ataukah orang yang beruntung “ .Hadis ini masih ada kelanjutannya ( HR Ahmad ).
c. Penjelasan Hadis :
Hadis tersebut Dimuka menjelaskan proses kejadian manusia dalam rahim ibunya, yaitu 40 hari pertama berwujud “ Nutfah “ ( air mani laki-laki bersenyawa dengan sel telur perempuan ), 40 hari kedua berproses menjadi “ Alaqah “ ( segumpal darah ), 40 hari ketiga berproses menjadi “ Mudlghoh “ ( segumpal daging ).
 Hadis tersebut di muka lebih lanjut menjelaskan bahwa saat berwujud nudlghah itulah Allah SWT mengirim malaikat untuk memasangkan roh kepadanya bersamaan dengan ditetapkannya 4 ketentuan sebagaimana telah disebutkan dalam hadis.