Sesungguhnya diantara tanda Allah menghendaki kebaikan bagi hambaNya adalah Allah menjadikannya cinta dengan ilmu. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
"Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan menjadikannya faqih/faham tentang agama" (HR Al-Bukhari)
Dan diantara keagungan agama ini Allah telah menjadikan adanya para
imam yang memikul ilmu agama, yang menjelaskan kepada umat tentang
urusan agama. Merekalah cahaya yang menerangi jalan menuju
kebaikan…merekalah yang sangat dibutuhkan oleh orang yang menghadapi
kebingungan dalam urusan agama mereka…, merekalah penyejuk hati bagi
orang yang menghadapi problematika kehidupan dan berusaha mencari solusi
agamis…, merekalah para pejuang yang memerangi jalan-jalan kesesatan
yang selalu siap menyimpangkan umat ini…, merekalah yang Allah
perintahkan umat agar bertanya kepada mereka dalam firmanNya :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan/ilmu jika kamu tidak mengetahui" (QS An-Nahl : 43)
Banyak para imam umat ini yang kita banggakan, akan tetapi diantara
mereka ada 4 imam yang tersohor, yaitu para pendiri 4 madzhab. Mereka
itu adalah Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik bin Anas, Al-Imam
Asy-Syaf'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.
Meskipun ada madzhab-madzhab fikih yang lain akan tetapi keempat
madzhab inilah yang diterima secara luas dalam dunia Islam hingga saat
ini. Bahkan sebagian negeri dikenal dengan madzhab tertentu. Madzhab
Syafi'i banyak tersebar di negara-negara Asia tenggara, madzhab Maliki
banyak tersebar di negeri-negeri Afrika, madzhab Hanafi banyak tersebar
di India, Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan, dan juga di China,
adapun madzhab Hanbali banyak tersebar di negeri-negeri Arab, khususnya
Arab Saudi.
Diantara keempat imam tersebut yang sangat cemerlang
adalah Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah, beliaulah pendiri dan pemrakasa
madzhab Syafi'i yang merupakan madzhab yang banyak dianut di bumi
pertiwi nusantara ini.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-'Abbas bin
'Utsman bin Syaafi' bin As-Saaib bin 'Ubaid bin 'Abd Yaziid bin Haasyim
bin Al-Muthollib bin 'Abdi Manaaf, sehingga nasab beliau bermuara kepada
Abdu Manaaf kakek buyut Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Al-Muthollib adalah saudaranya Hasyim ayahnya Abdul Muthholib kakek Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan kepada Syafi' bin As-Saaib ****batan
Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah (lihat Siyar A'laam An-Nubalaa 10/5-6
dan Tobaqoot Asy-Syaafi'iyah Al-Kubro 2/71-72)
Meskipun nenek moyang beliau suku Quraisy di Mekah akan tetapi
beliau tidak lahir di Mekah, karena ayah beliau Idris merantau di
Palestina. Sehingga beliau dilahirkan di Ghozza (Palestina) dan ada yang
mengatakan bahwa beliau lahir di 'Asqolan pada tahun 150 Hijriah, tahun
dimana wafatnya Al-Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsaabit Al-Kuufi
rahimahullah, bahkan ada pendapat yang menyatakan di hari wafatnya
Al-Imam Abu Hanifah.
Ayah beliau Idris meninggal dalam keadaan masih muda, hingga
akhirnya Imam Asy-Syafi'i dipelihara oleh ibunya dalam kondisi yatim.
Karena khawatir terhadap anaknya maka sang ibu membawa beliau –yang
masih berumur 2 tahun- ke kampung halaman aslinya yaitu Mekah, sehingga
beliau tumbuh berkembang di Mekah dalam kondisi yatim. Beliau menghafal
Al-Qur'an tatkala berusia 7 tahun, dan menghafal kitab Al-Muwattho'
karya Imam Malik tatkala umur beliau 10 tahun. Ini menunjukkan betapa
cerdasnya Al-Imam Asy-Syafi'i.
Beliaupun belajar dari para ulama Mekah, diantaranya Muslim bin
Kholid Az-Zanji Al-Makky yang telah memberi ijazah kepada Al-Imam
Asy-Syafi'i untuk boleh berfatwa padahal umur beliau masih 15 tahun.
Lalu setelah itu beliau bersafar ke Madinah dan berguru bertahun-tahun
kepada Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah.
Pada tahun 195 H beliau pergi ke Baghdad, dan beliau mengajar di
sana sehingga banyak ulama yang berputar haluan dari madzhab ahli ro'yu
menuju madzhab Syafi'i. di Baghdad beliau banyak menulis buku-buku lama
beliau, setelah itu beliaupun kembali ke Mekah. Pada tahun 198 beliau
kembali lagi ke Baghdad dan menetap di sana selama sebulan lalu beliau
pergi ke Mesir dan menetap di sana meneruskan dakwah beliau hingga
akhirnya beliau sakit bawasir yang menyebabkan beliau meninggal dunia
pada tahu 204 Hijriyah, rahimahullah rahmatan waasi'ah.
Imam Syafi'i adalah seorang sosok yang memiliki banyak keistimewaan, diantaranya :
PERTAMA : Al-Imam Asy-Syafi'i adalah imam dalam lugoh (bahasa).
Beliau telah banyak tinggal bersama Qobilah Hudzal dan menghafalkan
banyak qoshidah (bait-bait sya'ir) mereka, sehingga hal ini sangat
mempengaruhi kekuatan bahasa Arab beliau. Karenanya tidak pernah
ditemukan kesalahan bahasa dari beliau sebagaimana ditemukan dari para
ulama yang lain. Ibnu Hisyaam (penulis siroh Nabi) berkata الشَّافِعِيُّ
حُجَّةٌ فِي اللُّغَةِ "Asy-Syafi'i hujjah dalam bahasa Arab" (Al-Waafi
bil Wafaayaat 19/143).
Adapun kritikan terhadap Al-Imam Asy-Syafi'i dalam masalah bahasa
maka tidak mematahkan keimaman beliau dalam bahasa Arab. Diantara
kritikan tersebut :
- Beliau dikritik karena menyatakan bahwa huruf jar baa'
(الباء) memberikan faedah التَّبْعِيْض "sebagian/parsial". Karenanya
beliau menyatakan bolehnya mengusap sebagian kepala tatkala berwudu
karena Allah berfirman (وَامْسَحُوا بِـرُؤُوْسِكُمْ). Maka beliaupun
diingkari oleh sebagian ulama, mereka menyatakan bahwa huruf baa' tidak
mengandung makna "parsial", dan ini tidak dikenal dalam bahasa Arab, dan
tidak ada ahli bahasa yang menyebutkan bahwa diantara makna-makna yang
dikandung huruf baa' adalah untuk parsial. Akan tetapi kenyataannya
ternyata banyak ahli bahasa yang menetapkan makna ini (huruf baa'
memberi makna faedah parsial) diantaranya adalah Al-Ashma'i dan ulama
Kufiyiin (lihat Al-Bahr Al-Muhiith fi Ushuul Al-Fiqh li Az-Zarkasyi
2/15-16).
Ternyata juga setelah diamati ada bukti yang tegas bahwasanya
Al-Imam Asy-Syafi'i menyatakan bahwa huruf baa' memberi faedah
"parsial". Dan ****batan hal ini kepada Al-Imam Asy-Syafi'i merupakan
kekeliruan sebagaimana dijelaskan oleh Az-Zarkasy (Al-Bahrul Al-Muhiith
(2/15). Bahkan jika kita kembali kepada kitab Al-Umm kita akan dapati
bahwasanya Asy-Syafi'i berkata :
وَدَلَّتْ السُّنَّةُ على أَنْ ليس على الْمَرْءِ مَسْحُ الرَّأْسِ
كُلِّهِ وإذا دَلَّتْ السُّنَّةُ على ذلك فَمَعْنَى الْآيَةِ أَنَّ مَن
مَسَحَ شيئا من رَأْسِهِ أَجْزَأَهُ
"Sunnah menunjukkan bahwasanya tidak wajib bagi seseorang untuk
mengusap seluruh kepalanya, dan jika sunnah telah menunjukkan demikian
maka makna ayat adalah barang siapa yang mengusap sesuatupun dari
kepalanya maka sudah cukup/sah) (lihat Al-Umm 1/26)
Yang dimaksud dengan sunnah oleh Al-Imam Asy-Syafi'i di sini adalah
hadits tentang Nabi yang berwudu dengan mengusap ubun-ubun beliau saja
tatkala beliau memakai sorban.
- Beliau dikritik karena menafsirkan kata "الْعَوْلُ" dalam firman Allah
ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)
"Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya" (QS An-Nisaa :3).
Beliau tafsirkan dengan "كَثْرَةُ الْعِيَالِ" (banyaknya anak).
Tafsiran Asy-Syafi'i ini diingkari dengan keras oleh Ibnul 'Arobi
yang bermadzhab Maliki, dan menyatakan bahwa tidak ada ahli bahasa yang
berpendapat dengan pendapat Asy-Syafi'i (lihat Ahkaamul Qur'an li Ibnil
'Arobi 1/411). Akan tetapi perkataan Ibnul 'Arobi ini telah dibantah
oleh para ulama. Makna tersebut ternyata telah disebutkan oleh Al-Kisaai
dan Al-Farroo' (lihat Al-Haawi fi Fiqh Asy-Syaafi'i 11/415 dan
Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzab 16/125). Bahkan Al-Qurthubi yang juga
bermadzhab Malikiyah telah membantah perkataan Ibnul 'Arobi dengan
menjelaskan bahwa tafsiran Asy-Syafi'i bukanlah tafsiran yang baru,
telah mendahului beliau dua imam besar yaitu Zaid bin Aslam dan Jaabir
bin Zaid (lihat Tafsiir Al-Qurthubi 5/21-22)
KEDUA : Sya'ir-sya'ir beliau yang istimewa
Al-Imam Asy-Syafi'i tidak banyak menulis sya'ir-sya'ir, akan tetapi
sya'ir-sya'ir beliau sederhana mudah dipahami dan mengandung makna yang
sangat dalam. Meskipun ada sya'ir-sya'ir para ulama bahasa yang lain
yang lebih nampak ketinggian bahasanya dalam sya'ir-sya'ir mereka akan
tetapi ternyata kesohoran sya'ir-sya'ir Asy-Syafi'i lebih besar karena
kandungan makna yang dalam dengan penggunaan kata-kata yang sederhana.
Diantara sya'ir-sya'ir beliau ;
أمَتُّ مَطَامِعي فأرحْتُ نَفْسي ** فإنَّ النَّفسَ ما طَمعَتْ تهونُ
Aku bunuh sifat tamak yang ada pada diriku, maka akupun menenangkan diriku
Karena jiwa kapan ia tamak maka rendahlah jiwa tersebut
وَأَحْيَيْتُ القُنُوع وَكَانَ مَيْتاً ** ففي إحيائهِ عرضٌ مصونُ
Dan aku hidupkan sifat qona'ah pada diriku yang tadinya telah mati….
Maka dengan mengidupkannya harga dirikupun terjaga…
إذا طمعٌ يحلُ بقلبِ عبدٍ ** عَلَتْهُ مَهَانَةٌ وَعَلاَهُ هُونُ
Jika sifat tamak telah menetap di hati seorang hamba….maka ia akan didominasi oleh kehinaan dan dikuasai kerendahan
Beliau berkata :
نَعِيبُ زمانَنا والعيبُ فِيْنا *** وَما لِزَمانِنا عَيْبٌ سِوانا
"Kita mencela zaman kita, padahal celaan itu ada pada diri kita sendiri...
Dan zaman kita tidaklah memiliki aib/celaan kecuali kita sendiri"
Beliau berkata :
لَمَّا عَفَوْتُ وَلَمْ أحْقِدْ عَلَى أحَدٍ ** أَرَحْتُ نَفْسِي مِنْ هَمَّ الْعَدَاوَاتِ
Tatkala aku memaafkan maka akupun tidak membenci seorangpun…
Akupun merilekskan diriku dari kesedihan dan kegelisahan (yang timbul akibat) permusuhan
إنِّي أُحَيِّي عَدُوِّي عنْدَ رُؤْيَتِهِ ** لِأَدْفَعَ الشَّرَّ عَنِّي بِالتَّحِيَّاتِ
Aku memberi salam kepada musuhku tatkala bertemu dengannya…untuk menolak keburukan dariku dengan memberi salam
وأُظْهِرُ الْبِشْرَ لِلإِنْسَانِ أُبْغِضهُ ** كَمَا إنْ قدْ حَشَى قَلْبي مَحَبَّاتِ
Aku menampakkan senyum kepada orang yang aku benci… sebagaimana jika hatiku telah dipenuhi dengan kecintaan
النَّاسُ داءٌ وَدَاءُ النَّاسِ قُرْبُهُمُ ** وَفِي اعْتِزَالِهِمُ قَطْعُ الْمَوَدَّاتِ
Orang-orang adalah penyakit, dan obat mereka adalah dengan
mendekati mereka… dan sikap menjauhi mereka adalah memutuskan tali cinta
kasih
Beliau berkata :
بقَدْرِ الكدِّ تُكتَسَبُ المَعَــالي ....ومَنْ طَلبَ العُلا سَهِـرَ اللّيالي
Ketinggian diraih berdasarkan ukuran kerja keras…
Barang siapa yang ingin meraih puncak maka dia akan begadang
ومَنْ رامَ العُلى مِن ْغَيرِ كَـدٍّ .....أضَاعَ العُمرَ في طَـلَبِ المُحَالِ
Barang siapa yang mengharapkan ketinggian/kemuliaan tanpa rasa letih…
Maka sesungguhnya ia hanya menghabiskan usianya untuk meraih sesuatu yang mustahil…
تَرُومُ العِزَّ ثم تَنامُ لَيـلاً .....يَغُوصُ البَحْرَ مَن طَلَبَ اللآلي
Engkau mengharapkan kejayaan lantas di malam hari hanya tidur aja??
Orang yang yang mencari mutiara harus menyelam di lautan…
Beliau berkata :
إِذَا أَصْبَحْتُ عِنْدِي قُوْتُ يَوْمٍ ... فَخَلِّ الْهَمَّ عَنِّي يَا سَعِيْدُ
Jika di pagi hari dan aku telah memiliki makanan untuk hari ini…
Maka hilangkanlah kegelisahan dariku wahai yang berbahagia
وَلاَ هُتَخْطُرْ مُوْمُ غَدٍ بِبَالِي ... فَإِنَّ غَدًا لَهُ رِزْقٌ جَدِيْدُ
Dan tidaklah keresahan esok hari terbetik di benakku….
Karena sesungguhnya esok hari ada rizki baru yang lain
أُسَلِّمُ إِنْ أَرَادَ اللهُ أَمْراً ... فَأَتْرُكُ مَا أُرِيْدُ لِمَا يُرِيْدُ
Aku pasrah jika Allah menghendaki suatu perkara…
Maka aku biarkan kehendakku menuju kehendakNya
KETIGA : Tegar Di Atas Sunnah dan Memerangi Bid'ah
Al-Imam Asy-Syafi'i digelari dengan نَاصِرُ الْحَدِيْثِ "Penolong
hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam". Pengagungan beliau
terhadap sunnah-sunnah Nabi sangatlah nampak. Karenanya beliau sering
berdebat dengan ahlul bid'ah dan mematahkan hujjah-hujjah mereka.
Demikian juga di Baghdad adanya sikap mendahulukan ro'yu (pendapat) dari
pada sunnah-sunnah Nabi, sehingga sunnah-sunnah Nabi ditolak dengan
berbagai metode. Al-Imam Asy-Syafi'i datang dan membantah dan mematahkan
pemikiran yang menyimpang tersebut. Akan datang penjelasan yang lebih
dalam tentang bantahan Al-Imam Asy-Syafi'i terhadap ahlul bid'ah.
KEEMPAT : Kharismatik Al-Imam Asy-Syafi'i
Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah memiliki kharismatik dan daya
tarik yang luar biasa, hingga ulama-ulama besar yang ada di Baghdad
tertarik dengan beliau dan belajar kepada beliau. Seperti Al-Imam Ahmad
bin Hanbal dan Abu Tsaur yang masing-masing ternyata memiliki madzhab
tersendiri, akan tetapi mereka belajar kepada Al-Imam Asy-Syafi'i dan
sangat mencintai dan mengagungkan Al-Imam Asy-Syafi'i. Abu Tsaur pernah
ditanya :
"Manakah yang lebih faqih, Asy-Syafi'i ataukah Muhammad bin
Al-Hasan?". Dan Muhammad bin Al-Hasan adalah guru Al-Imam Asy-Syafi'i,
beliau menimba ilmu darinya tatkala beliau menetap di Baghdad.
Akan tetapi apa jawaban Abu Tsaur??. Beliau berkata :
الشافعي أفقه من محمد، وأبي يوسف، وأبي حنيفة، وحماد، وإبراهيم، وعلقمة، والأسود
"Asy-Syafi'i lebih faqih dari pada Muhammad bin Al-Hasan dan juga
Abu Yusuf (Muhamamad bin Al-Hasan dan Abu Yusuf adalah murid senior Abu
Hanifah-pen), dan lebih faqih dari Abu Hanifah, dan juga lebih faqih
dari Hammad (gurunya Abu Hanifah-pen), dan lebih faqih dari Ibrahim
(gurunya Hammad-pen), dan lebih faqih daripada 'Alqomah (gurunya
Ibrahim-pen), dan lebih faqih daripada Al-Aswad (gurunya 'Alqomah)"
(Mukhtashor Taarikh Dimasyq 6/434)
Padahal Abu Tsaur dahulunya mengikuti madzhab Ahlu Ro'yi di Baghdad
sebelum datangnya Al-Imam Asy-Syafi'i. Jawaban Abu Tsaur ini
menunjukkan kecintaan yang sangat dalam kepada Al-Imam Asy-Syafi'i
rahimahullah.
Lihatlah bagaimana cintanya Al-Imam Ahmad kepada gurunya Asy-Syafi'i, sehingga beliau pernah berkata :
سِتَّةٌ أَدْعُوا لَهُمْ سَحراً، أَحَدُهُمْ الشَّافِعِيُّ
"Enam orang yang aku mendoaakan mereka di waktu sahur (sebelum
subuh), salah satunya adalah Asy-Syafi'i" (Taariikh Al-Islaam li
Adz-Dzhabi 14/312)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal terlalu sering mendoakan Asy-Syafi'i, sampai-sampai anak beliau Abdullah bertanya kepada beliau :
يَا أَبَةِ، أَيُّ رَجُلٍ كَانَ الشَّافِعِيُّ فَإِنِّي سَمِعْتُكَ تُكْثِرُ مِنَ الدُّعَاءِ لَهُ
"Wahai ayahanda, siapakah Asy-Syafi'i itu, aku mendengarmu banyak mendoakannya?".
Al-Imam Ahmad menjawab :
يَا بُنَيَّ، كَانَ الشَّافِعِيُّ كَالشَّمْسِ لِلدُّنْيَا، وَكَالْعَافِيَةِ لِلنَّاسِ، فَهَل لِهَذَيْنِ مِنْ خَلَفٍ؟
"Wahai putraku, Asy-Syafi'i seperti matahari bagi dunia, seperti
keselamatan bagi manusia, maka apakah ada pengganti bagi kedua
kenikamatan ini?" (Taarikh Al-Islaam 14/312)
Karena ilmu dan dakwah Al-Imam Asy-Syafi'i diterima oleh
masyarakat dan para ulama secara luas maka munculah orang-orang yang
tidak suka kepada beliau. Diantara mereka adalah salah seorang ulama
bermadzhab Maliki yang bernama Asyhub. Tatkala Al-Imam Asy-Syafi'i
datang ke Mesir beliau tidak bertemu dengan murid-murid Imam Malik
kecuali dua orang yaitu Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim dan
Asyhub.
Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim berkata :
سَمِعْتُ أَشْهُبَ فِي سُجُوْدِهِ يَدْعُو عَلَى الشَّافِعِي بِالْمَوْتِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلشَّافِعِي
"Aku mendengar Asyhub dalam sujudnya mendoakan agar Asy-Syafi'i
meninggal. Maka akupun menyebutkan hal tersebut kepada Asy-Syafi'i"
Dalam riwayat yang lain Asyhub berdoa :
اللَّهُمَّ أَمِتِ الشَّافِعِيَّ فَإِنَّكَ إِنْ أَبْقَيْتَهُ اِنْدَرَسَ مَذْهَبُ مَالِكٍ
"Ya Allah matikanlah Asy-Syafi'i, karena kalau Engkau membiarkannya hidup maka akan punah madzhab Imam Malik"
Maka Al-Imam Asy-Syafi'i heran dengan hal ini, lalu ia berkata dengan menyebut sya'ir :
تَمَنَّى رِجَالٌ أَنْ أَمُوْتَ وَإِنْ أَمُتْ فَتِلْكَ سَبِيْلٌ لَسْتُ فِيْهَا بَأَوْحَدِ
Beberapa lelaki berangan-angan kematianku, dan jika akupun mati….
Maka (kematian) itu adalah jalan yang tidak ditempuh oleh aku sendirian…
فَقُلْ لِلَّذِي يَبْغِي خِلاَفَ الَّذِي مَضَى تَزَوَّدْ لِأُخْرَى مِثْلِهَا فَكَأَنْ قَدِ
Maka katakanlah kepada orang yang menginginkan berbedanya apa yang telah berlalu…
Hendaknya engkau berbekal untuk menghadapi kematian yang semisalnya maka seakan-akan ia telah datang…
Maka setelah itu Al-Imam Asy-Syafi'i pun meninggal, dan tidak lama
kemudian sekita 18 hari atau sebulan Asyhub pun meninggal dunia.
(lihat : Taarikh Dimasyq 51/428, Siyar A'laam An-Nubalaa 10/72, Al-Waafi bil Wafayaat 9/165)
KELIMA : Inovasi Spektakuler
Diantara keistimewaan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah
beliau telah menyusun sebuah kitab istimewa yang berjudul Ar-Risaalah,
yang kitab ini merupakan kitab pertama yang ditulis tentang
kaidah-kaidah ushul fiqh. Beliau menulis buku tersebut atas permintaan
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah. Beliau menulis surat kepada
Asy-Syafi'i –dan tatkala itu Asy-Syafi'i masih muda belia- agar
Asy-Syafi'i membuat sebuah buku yang mencakup makna-makna Al-Qur'an dan
mencakup ilmu-ilmu hadits, hujjahnya ijmak, serta nasihk dan mansukh
dari Al-Qur'an dan hadits. Maka Al-Imam Asy-Syafi'i lalu menyusun kitab
Ar-Risaalah. Maka Abdurrahman bin Mahdi berkata :
مَا أُصَلِّي صَلاَةً إِلاَّ وَأَنَا أَدْعُو لِلشَّافِعِي فِيْهَا
"Tidaklah aku sholat kecuali aku mendoakan Asy-Syafi'i dalam sholatku tersebut" (Tariikh Baghdaad 2/64-65)
Demikian pula halnya dengan kitab Al-Umm yang disusun oleh Al-Imam
Asy-Syafi'i sebagai kitab fikih yang disusun dengan penyusunan bab-bab
fikih yang luar biasa, sehingga memudahkan para murid beliau untuk
belajar dengan baik. Dengan demikian Al-Imam Asy-Syafi'i telah menyusun
kitab tentang ushul fikih dan juga menyusun kitab tentang penerapan
ushul fikih tersebut dalam kitab fikih beliau yaitu Al-Umm.
Diantara keistimewaan beliau juga adalah beliau telah belajar dari
dua madrosah, madrosah Hadits (yang dalam hal ini diwakili oleh Imam
Malik yang merupakan guru beliau) dan madrosah Ar-Ro'yu (yang dalam hal
ini diwakili oleh Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaani yang juga
merupakan guru beliau). Maka Al-Imam Asy-Syafi'i menggabungkan kebaikan
dari dua madrosah ini sehingga jadilah madzhab beliau madzhab yang
kokoh.
Senin, 09 September 2013 , 21:07:52
Oleh : Ustadz Firanda Andirja, MA
Sumber:
http://salamdakwah.com/baca-artikel/biografi-al-imam-asy-syafi-i-rahimahullah--.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar