“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat
kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah
kiri. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)
adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".
Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang
besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi
(pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon
Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran
mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan
hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. Dan Kami jadikan antara
mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya,
beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri
itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada
malam dan siang hari dengan aman. Maka mereka berkata: "Ya Tuhan kami
jauhkanlah jarak perjalanan kami", dan mereka menganiaya diri mereka
sendiri; maka Kami jadikan mereka buah mulut dan Kami hancurkan mereka
sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi
bersyukur.” (QS Saba’ [34]: 15-19)
Masyarakat Saba’ adalah satu di antara empat peradaban terbe-sar yang
pernah hidup di Arabia Selatan. Kaum ini diperkira-kan berkembang
sekitar tahun 1000-750 SM dan musnah sekitar tahun 550 M, setelah
serangan-serangan selama dua abad dari bangsa Persia dan Arab.
Masa keberadaan peradaban Saba’ banyak diperbincangkan. Kaum Saba’ mulai
mencatat laporan pemerintahannya sekitar 600 SM. Karena itulah tidak
terdapat catatan tentang mereka sebelum tahun tersebut.
Sumber tertua yang menyebutkan tentang kaum Saba’ adalah catatan perang
tahunan yang berasal dari masa raja Asiria Sargon II (722-705 SM). Kala
mencatat bangsa-bangsa yang membayar pajak kepadanya, Sargon juga
menyebutkan raja Saba’, Yith’i-amara (It’amara). Catatan ini meru-pakan
sumber tertulis tertua yang memberikan informasi tentang per-adaban
Saba’. Namun, tidak terlalu tepat untuk menarik kesimpulan bah-wa
kebudayaan Saba’ dibangun sekitar 700 SM hanya berdasarkan data ini,
karena sangat mungkin kaum Saba’ telah ada lama sebelum tercatat dalam
catatan tertulis. Artinya, sejarah Saba’ mungkin lebih awal dari waktu
di atas. Memang, dalam prasasti Arad-Nannar, salah satu raja terakhir
dari negara Ur, digunakan kata “Sabum” yang diperkirakan berarti “negeri
Saba’”.39 Jika kata ini benar-benar berarti Saba’, maka ini berarti
sejarah Saba’ mundur sampai sejauh 2500 SM.
Sumber-sumber sejarah yang menceritakan tentang Saba’ biasanya
menyebutkannya sebagai sebuah kebudayaan, yang seperti bangsa Punisia,
terutama bergerak dalam kegiatan perdagangan. Begitu pula, kaum ini
memiliki dan mengatur sejumlah jalur perdagangan yang melintasi Arabia
Selatan. Agar dapat membawa barang-barangnya ke Laut Tengah dan Gaza,
yang berarti melintasi Arabia Selatan, orang-orang Saba’ harus
mendapatkan izin dari Raja Sargon II, penguasa selu-ruh wilayah
tersebut, atau membayar pajak dengan jumlah tertentu kepa-danya. Begitu
kaum Saba’ mulai membayar pajak kepada kerajaan Asiria, nama mereka
mulai tercatat dalam sejarah negeri ini.
Kaum Saba’ telah dikenal sebagai orang-orang yang beradab dalam sejarah.
Dalam prasasti para penguasa Saba’ sering digunakan kata-kata seperti
“memperbaiki”, “mempersembahkan”, dan “membangun”. Ben-dungan Ma’rib,
yang merupakan salah satu monumen terpenting kaum ini, adalah indikasi
penting dari tingkatan teknologi yang telah diraih oleh kaum ini. Namun,
ini tidak berarti bahwa kekuatan militer Saba’ lemah; bala tentara
Saba’ adalah salah satu faktor terpenting yang menyokong ketahanan
kebudayaan mereka dalam jangka waktu demikian lama tanpa keruntuhan.
Negara Saba’ memiliki salah satu bala tentara terkuat di kawasan
ter-sebut. Negara mampu melakukan politik ekspansi berkat angkatan
ber-senjatanya. Negara Saba’ telah menaklukkan wilayah-wilayah dari
nega-ra Qataban Lama. Negara Saba’ memiliki banyak tanah di benua
Afrika. Selama abad ke-24 SM, selama ekspedisi ke Magrib, tentara Saba’
dengan telak mengalahkan tentara Marcus Aelius Gallus, Gubernur Mesir
untuk Kekaisaran Romawi yang jelas-jelas merupakan negara terkuat pada
ma-sa itu. Saba’ dapatlah digambarkan sebagai sebuah negara yang
menerap-kan kebijakan moderat, namun tidak ragu-ragu menggunakan
kekuatan jika diperlukan. Dengan kebudayaan dan militernya yang maju,
negara Saba’ jelas merupakan salah satu “adi daya” di daerah tersebut
kala itu.
Angkatan bersenjata Saba’ yang luar biasa kuat ini juga digambarkan di
dalam Al Quran. Sebuah ungkapan dari para komandan tentara Saba’ yang
diceritakan dalam Al Quran menunjukkan besarnya rasa percaya diri yang
dimiliki oleh bala tentara ini. Para komandan berkata kepada sang ratu:
”Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memi-liki
keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan ber-ada di
tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.” (QS.
An-Naml, 27: 33) !
Ibu kota negara Saba’ adalah Ma’rib yang sangat makmur berkat letak
geografisnya yang sangat menguntungkan. Ibu kota ini sangat dekat
de-ngan Sungai Adhanah. Titik di mana sungai mencapai Jabal Balaq sangat
tepat untuk membangun sebuah bendungan. Dengan memanfaatkan keadaan
ini, kaum Saba’ membangun sebuah bendungan di sana, ketika peradaban
mereka pertama kali berdiri, dan memulai sistem pengairan mereka. Mereka
benar-benar mencapai tingkat kemakmuran yang sangat tinggi. Ibu kota
Ma’rib, adalah salah satu kota termaju saat itu. Penulis Yunani Pliny
yang telah mengunjungi daerah ini dan sangat memujinya, juga menyebutkan
betapa hijaunya kawasan ini.40
Bendungan di Ma’rib tingginya 16 meter, lebarnya 60 meter dan
pan-jangnya 620 meter. Berdasarkan perhitungan, total wilayah yang dapat
diairi oleh bendungan ini adalah 9.600 hektar, dengan 5.300 hektar
terma-suk dataran bagian selatan dan sisanya termasuk dataran sebelah
barat. Dua dataran ini disebutkan sebagai “Ma’rib dan dua dataran“ dalam
prasasti Saba’.41 Ungkapan dalam Al Quran, “dua buah kebun di sisi kiri
dan kanan“, menunjukkan kebun-kebun dan kebun anggur yang menge-sankan
di kedua lembah ini. Berkat bendungan ini dan sistem pengairan-nya,
daerah ini menjadi terkenal sebagai kawasan berpengairan terbaik dan
paling menghasilkan di Yaman. J. Holevy dari Prancis dan Glaser dari
Austria membuktikan dari berbagai dokumen tertulis bahwa bendungan
Ma’rib telah ada sejak zaman kuno. Dalam dokumen-dokumen yang tertulis
dalam dialek Himer, disebutkan bahwa bendungan ini membuat kawasan
tersebut sangat produktif.
Bendungan ini diperbaiki secara besar-besaran selama abad 5 dan 6 M.
Namun demikian, perbaikan-perbaikan ini tidak mampu mencegah bendungan
ini dari keruntuhan pada tahun 542 M. Runtuhnya ben-dungan tersebut
mengakibatkan “banjir besar Arim” yang disebutkan da-lam Al Quran serta
mengakibatkan kerusakan hebat. Kebun-kebun anggur, kebun-kebun, serta
ladang-ladang pertanian kaum Saba‘’yang telah mereka tanami selama
ratusan tahun hancur seluruhnya. Diketahui juga bahwa kaum Saba’ segera
mengalami masa resesi setelah kehancur-an bendungan tersebut.
Berakhirlah negara Saba’pada ujung periode yang diawali oleh hancurnya
bendungan tersebut.
Banjir Arim yang Dikirim kepada Negeri Saba’
Ketika kita kaji Al Quran dengan kelengkapan data sejarah di atas, maka
kita akan mengamati bahwa ada kesamaan yang sangat mendasar dalam hal
ini. Keduanya, temuan arkeologis dan data sejarah membenar-kan apa yang
dicatat dalam Al Quran. Sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut, kaum
ini, yang tidak mendengarkan peringatan dari nabi mereka dan tanpa rasa
syukur telah menolak keimanan, akhirnya dihu-kum dengan banjir yang
mengerikan. Banjir ini digambarkan dalam Al Quran dalam ayat-ayat
sebagai berikut :
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allah) di tempat
kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan kiri, (kepada
mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan)
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang
baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka
berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami
ganti kedua kebun-kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi
(pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon
Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena ke-kafiran
mereka. Dan kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan
hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (QS Saba’, 34: 15-17). !
Sebagaimana ditekankan dalam ayat-ayat diatas, kaum Saba’ yang hidup di
suatu daerah yang diberkahi dengan kebun-kebun dan kebun-kebun anggur
yang subur dan luar biasa indah. Karena terletak di jalur perdagangan,
negeri Saba’ memiliki standar kehidupan yang sangat tinggi dan menjadi
salah satu kota yang disukai pada masa itu.
Di sebuah negeri dengan standar kehidupan dan keadaan yang sa-ngat
bagus, yang seharusnya dilakukan oleh Kaum Saba’ adalah “Makan-lah
olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya” sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Namun, mereka
tidak melakukannya. Mereka memilih untuk mengklaim kemakmuran itu
sebagai milik mereka. Mereka menganggap negeri itu adalah milik mereka
sendiri, bahwa merekalah yang menjadikan semua keadaan yang luar biasa
tersebut ada. Mereka memilih untuk menjadi sombong bukan-nya bersyukur,
dan dalam ungkapan ayat tersebut, mereka “berpaling dari Allah”…
Karena mereka mengaku-aku bahwa semua kekayaan adalah milik mereka, maka mereka pun kehilangan semua yang mereka miliki.
Di dalam Al Quran, azab yang dikirimkan kepada kaum Saba’ dina-makan
“Sail Al Arim” yang berarti “banjir Arim”. Ungkapan yang di-gunakan
dalam Al Quran ini juga menceritakan kepada kita bagaimana bencana ini
terjadi. Kata “Arim” berarti bendungan atau rintangan. Ungkapan “Sail
Al-Arim” menggambarkan banjir yang datang dengan runtuhnya bendungan
ini. Para pengamat Islam telah menetapkan waktu dan tempat kejadian
dengan dipandu ungkapan yang digunakan dalam Al Quran tentang banjir
Arim. Maududi menulis dalam komentarnya:
Sebagaimana digunakan pula dalam ungkapan Sail Al Arim, kata “Arim”
diturunkan dari kata “arimen” yang digunakan dalam dialek Arab Selatan
yang berarti “bendungan, rintangan”. Dalam reruntuhan yang terungkap
dalam penggalian yang dilakukan di Yaman, kata tersebut tampaknya sering
digunakan dalam pengertian ini. Misalnya, dalam prasasti yang dipesan
oleh Ebrehe (Abrahah), raja Yaman Habesh, setelah perbaikan dinding
Ma’rib yang besar pada tahun 542 dan 543 M, kata ini berkali-kali
digunakan untuk mengartikan bendungan. Jadi, ungkapan sail al-Arim
berarti “sebuah ben-cana banjir yang terjadi setelah runtuhnya sebuah
bendungan.”
“Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi
(pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon
Sidr.” (QS. Saba’, 34: 16). Yakni, setelah runtuhnya dinding bendungan,
seluruh negeri digenangi banjir. Saluran-saluran yang telah digali oleh
kaum Saba’ serta dinding yang telah didirikan dengan membangun perintang
di antara gunung-gunung tersebut runtuh, dan sistem pengairan pun
hancur be-rantakan. Akibatnya, kawasan yang seperti kebun tersebut
berubah menjadi hutan. Tidak ada lagi buah yang tersisa kecuali buah
seperti ceri dari pepohonan kecil bertunggul. 42
Werner Keller, seorang ahli arkeologi Kristen penulis buku Und die Bible
Hat Doch Recht (Alkitab Terbukti Benar), setuju bahwa banjir Arim
terjadi sebagaimana digambarkan dalam Al Quran dan menulis bahwa
keberadaan bendungan semacam itu dan kehancuran seluruh negeri ka-rena
keruntuhannya membuktikan bahwa contoh yang diberikan dalam Al Quran
tentang kaum pemilik kebun-kebun tersebut adalah benar adanya .43
Setelah bencana banjir Arim, daerah tersebut mulai berubah menjadi
padang pasir dan kaum Saba’ kehilangan sumber pendapatan mereka yang
terpenting dengan hilangnya lahan pertanian mereka. Kaum terse-but, yang
tidak mengindahkan seruan Allah untuk beriman dan ber-syukur
kepada-Nya, akhirnya diazab dengan sebuah bencana seperti ini. Setelah
kehancuran besar yang disebabkan oleh banjir, kaum tersebut mulai
terpecah-belah. Kaum Saba’ mulai meninggalkan rumah-rumah mereka dan
berpindah ke Arab Selatan, Makkah, dan Syria. 44
Karena banjir tersebut terjadi setelah penyusunan Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, peristiwa ini hanya disebutkan di dalam Al Quran.
Kota Ma’rib yang pernah dihuni oleh Kaum Saba’, namun sekarang hanyalah
reruntuhan yang terpencil, tidak diragukan lagi merupakan peringatan
bagi mereka yang mengulangi kesalahan yang sama sebagai-mana kaum Saba’.
Kaum Saba’ bukanlah satu-satunya kaum yang di-hancurkan oleh banjir.
Dalam Al Quran surat Al Kahfi diceritakan kisah dua pemilik kebun. Salah
satunya memiliki kebun yang sangat mengesankan dan menghasilkan seperti
yang dimiliki oleh kaum Saba’. Namun, ia pun melakukan kesalahan serupa
sebagaimana mereka: ber-paling dari Allah. Ia mengira anugerah yang
dilimpahkan kepadanya “dimilikinya” sendiri, yakni ialah penyebab semua
itu:
“Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki,
kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun
anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan
di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu
menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun,
dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia
mempunyai kekayaan yang besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang
mukmin) ketika ia ber-cakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari
hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat.” Dan dia memasuki kebunnya
se-dang dia zalim kepada dirinya sendiri; Ia berkata: ”Aku kira kebun
ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat
itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepa-da Tuhanku,
pasti aku akan mendapat kembali tempat yang lebih baik daripada
kebun-kebun itu”. Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia
bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang
menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia
menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?. Tetapi aku (percaya
bahwa): Dialah Allah, Tuhan-ku dan aku tidak mempersekutukan seorang pun
dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki
ke-bunmu “Masya Allah – tidak ada kekuatan kecuali dengan (perto-longan)
Allah?”. Jika kamu anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal
harta dan anak, maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberi kepadaku (kebun)
yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia
mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebun-kebunmu, hingga
(kebun itu) men-jadi tanah yang licin; atau airnya menjadi surut ke
dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi”. Dan
harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya
(tanda menyesal) terhadap biaya yang telah dibelan-jakannya untuk itu,
sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata:
“Aduhai kiranya dahulu aku tidak mem-persekutukan seorang pun dengan
Tuhanku”. Dan tidak ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya
selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya. Di sana
pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik
Pemberi Pahala dan sebaik-baik Pemberi Balasan.” (QS. Al Kahfi, 18:
32-44). !
Sebagaimana dapat dipahami dari ayat-ayat ini, kesalahan yang di-lakukan
oleh pemilik kebun bukanlah mengingkari keberadaan Allah. Ia tidak
mengingkari keberadaan Allah, sebaliknya ia mengira bahwa “meskipun jika
dikembalikan kepada Tuhannya” ia tentu akan menda-patkan balasan yang
lebih baik. Ia meyakini bahwa keadaan yang diala-minya, hanyalah
disebabkan oleh usaha-usahanya sendiri yang sukses.
Sebenarnya, ini persis maknanya dengan mempersekutukan Allah: mencoba
untuk mengaku-aku atas segala sesuatu milik Allah dan hilang-nya rasa
takut seseorang kepada Allah karena menganggap bahwa sese-orang memiliki
keagungan tertentu dari dirinya sendiri, dan Allah bagai-manapun akan
“menunjukkan kemurahan” pada seseorang.
Inilah yang juga dilakukan oleh kaum Saba’, hukuman mereka adalah sama –
semua daerah kekuasaannya hancur – sehingga mereka dapat memahami bahwa
mereka bukanlah “pemilik “ kekuatan tetapi kekuatan itu hanyalah
“dikaruniakan” kepada mereka….
Prasasti yang tertulis dalam bahasa bangsa Saba‘.
Dengan Bendungan Ma’rib yang telah mereka bangun dengan teknologi yang
sangat maju, kaum Saba‘ memiliki sistem pengairan berkapasitas besar.
Lalu, tanah subur yang mereka peroleh dan penguasaan mereka atas jalur
perdagangan memungkinkan mereka memiliki gaya hidup yang luar biasa dan
mewah. Namun, mereka kemudian “berpaling” dari Allah, padahal kepada-Nya
mereka seharusnya bersyukur atas semua kemurahan itu. Karenanya,
bendungan mereka pun runtuh dan “banjir Arim” menghancurkan semua
pencapaian mereka.
Saat ini, bendungan kaum Saba‘ yang terkenal kembali menjadi fasilitas pengairan.
Bendungan Ma’rib yang tampak sebagai reruntuhan di atas adalah salah
satu karya terpenting dari kaum Saba‘. Bendungan ini runtuh dikarenakan
banjir Arim yang disebutkan dalam Al Quran dan semua daerah pertaniannya
tergenang. Karena wilayahnya hancur dengan runtuhnya bendungan, negara
Saba‘ kehilangan kekuatan ekonominya dalam waktu yang sangat singkat dan
segera runtuh.
Al Quran menceritakan kepada kita bahwa Ratu Saba’ dan kaumnya
“menyembah matahari selain menyembah Allah” sebelum ia mengikuti
Sulaiman. Informasi dari berbagai prasasti membenarkan kenyataan ini dan
menunjukkan bahwa mereka menyembah matahari dan bulan dalam kuil-kuil
mereka, salah satunya tampak pada gambar di atas. Dalam pilar-pilar,
terdapat prasasti yang tertulis dalam bahasa Saba‘.
Sumber:
http://elcarradian.blogspot.com/2013/01/pelajaran-dari-negeri-saba.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar